Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ilmu Fiqih
mam
Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah
pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer
dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi.
Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak
menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya
adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga
suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat bakat
kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama
mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah,
kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah
mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As Syuba’I,
Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar,
Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb.
Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari
qiraat dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang
hafidz (hafal Al-Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan
Al-Qur’an 60 kali.
Imam Syafi’i berkata :
“Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu
Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.”
Imam Malik berkata :
“Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan
dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan
dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.”
Mengenai metode
Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : “Saya mengambil
Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya
jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW,
dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang
kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, saya akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan
membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa
selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Sya’bi, Ibnu Sirin,
Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka
juga ber-ijtihad.
Fudail bin Iyadh
mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih
sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga
dari sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas
dengan cara yang sangat baik”.
Al-Dabussi dalam kitab
Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka pada kebebasan
berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya
untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu
Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar
permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq),
memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam
bentuk illat-illat dan hukum-hukum.”
Imam Abu Hanifah berkata
: “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak
memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat,
sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya
dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak
mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.
Imam Abu hanifah dikenal
teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua
kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad
(Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq)
menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu
ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai
empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung
pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada
masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya
hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly
oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam
penjara.
Beliau juga dicurigai
mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak
terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal
karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan
meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.
Metode Ijtihad Imam Abu
Hanifah :
- Al-Qur’an
- Hadits dari riwayat kepercayaan.
- Ijma’
- Fatwa Shabat
- Qiyas
- Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
- Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam Abu Hanifah adalah
orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih,
pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh
sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi
mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas) lebih banyak
dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan
hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan
fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1.
Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2.
Al-Jami’us Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3.
Al-Jami’ul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4.
As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5.
AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6.
Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7.
Al-Kafi, karya : Abdul Fadha’ Hammad bin Ahmad.
8.
Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul
Nawadhir :
1.
Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2.
Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3.
Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4.
Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5.
Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal
Waqi’at :
1. An Nawazil, karya :
Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu
Kalam :
1. Fiqhul Akbar,
diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam.
Imam
Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik
bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau
dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal
Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar
hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula
Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin
Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah,
Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin
Abu Nu’man.
Ibnu Al-Kasim berkata :
“Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa,
sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya,
kemudian di jual kepasar”.
Imam malik sangat
memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau
mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau
menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota
yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam
mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan
gurunya Yahya bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya baru
berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu Dawud
mengatakan : “Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan
oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari
Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits
dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu Hurairah. Hadits
mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al
Musayyab atau Hasan Al Basri.”
Sufyan mengatakan :
“Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai kepadaku,
niscaya isnad hadits tersebut kuat”.
Imam Syafi’i mengatakan
: “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah
hadits itu dan percayalah”.
Imam Malik juga
dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam
Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam
Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu
berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan
lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah
kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata :
“Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau
dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu
terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas
memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di
kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang
kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku
Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau
sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada
dalil nash yang tegas mengharamkannya.
Imam Malik
dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan
fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah
mengatakan : “Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000
hadits”. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’, merupakan kitab
hadits tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa
pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi
fatwa bahwa “akad orang yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini
tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga
bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah
dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah,
Ja’far bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya,
namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80
kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda
keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar,
justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa
pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik
agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga
istana, maka Imam Malik berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan
sebaliknya”. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya
Al Ma’mun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al
Muwatta’.
Khalifah Harun Al
Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al
Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”.
Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu
tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah
tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad
dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan
fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syada’id Abdullah bin Umar
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah
bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan
Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin
Mas’ud).
Metode Ijtihad Imam
Malik bin Anas :
- Al-Qur’an
- Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
- Ijma’
- Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
- Qiyas
- Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
- Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan
Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran
Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit
menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab
Maliki :
1.
Kitab Hadits, Al Muwatta’.
2.
Syada’id Abdullah bin Umar
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3.
Rukhas
Abdullah bin Abbas
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4.
Shawazh
Abdullah Ibnu Mas’ud
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)
Seorang
pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada
Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir
di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan
dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan
meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan
yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba
kekurangan (miskin).
Beliau dikenal
sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat
menghafal Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail
untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus
bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin
Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafi’i
kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti
Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab
Al-Muwatta’ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qur’an
imam Syafi’i yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis
tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk
memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20
tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin
Anas, pengarang kitab Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung
oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan
surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi
keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar
gubernur Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik.
Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam
urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i bicara dan
mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah
mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal
kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan
akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafi’i
kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam
Malik. Imam Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan
kitab Al-Muwatta’ kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu
tahun Imam Syafi’i tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga
akhirnya Imam Syafi’i ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih
dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik
pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak,
imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu
Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab
mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf.
Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan
pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di
setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi’i mengunjungi ulama-ulama
setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan
mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun
di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam
akhirnya Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru
oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama
empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya
dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam
Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang
yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun
itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa
Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang
muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi’i. Wali Negeri Yaman
mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan
penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti
Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua
orang putri.
Di Yaman Imam
Syafi’i juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin
Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada
saat itu sedang marak dipelajari.
Pada waktu itu
Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang
berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan
laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin
dan termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk
diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah
diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau
dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin
dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat
beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa
qaul qadim
(pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin
Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.
Pada sekitar tahun
200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur
Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke Mesir untuk
dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi’I
tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di
Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka
beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir
inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa
qaul jadid
(pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti,
memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam
Syafi’i :
1.
Al-Qur’an
2.
Hadis
3.
Ijma’
4.
Qiyas
5.
Istidlal
Imam Syafi’i adalah
orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang
mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya
Ar Risalah. Beliau
menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an
dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara
mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling
bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi’i
Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah,
metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai
oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab
Syafi’i :
1.
Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul
Fiqih.
2.
Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah
fiqih.
3.
Jami’ul Ilmi.
4.
Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5.
Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi
dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan,
murid utama Imam Abu
Hanifah.
6.
Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.
7.
Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits
yang secara zahir saling bertentangan.
8.
Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan
diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.
Imam
Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad
pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak
dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada
waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan
gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak
berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun,
pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama
berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman,
Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada
puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang
ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy
dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Imam Hanbali dikenal
sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli
ibadah, wara’ dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam Ahmad
bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”. Sementara
anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku telah
menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau
mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar
kepala”.
Ketika pemerintahan ada
ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah berhasil
mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan
mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum
Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan
pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak
sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama
tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya
ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa,
dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau
karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di
Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal
tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Ma’mun,
dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq
masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan
progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad
bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang
naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil
inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan sama
sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama
Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan
Al-Qur’an.
Khalifah Al Mutawakil
sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh
ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam
Ahmad bin Hanbal :
1.
Al-Qur’an
2.
Hadits
3.
Ijma’ Sahabat
4.
Fatwa Sahabat
5.
Atsar Tabi’in
6.
Hadits Mursal / Dhaif
7.
Qiyas
Metode istinbath Imam
Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar
dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai
berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada
menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab
Hanbali :
- Tafsir Al-Qur’an.
- Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
- Kitab Nasikh wal Mansukh.
- AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
- Jawabatul Qur’an.
- Kitab At Tarikh.
- Al Manasikul Kabir.
- Al Manasikus Saghir.
- Tha’atur Rasul.
10.
Al-‘Illah.
11.
Kitab Zuhud.
12.
Kitab Ash Shalah.
III.
Ijtihad
Ijtihad adalah
mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath)
hukum syara’ dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits).
A.
Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz
(Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber
ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat.
Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan ra’yu (qiyas) dalam
metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1.
Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para
Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu
Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah
dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2.
Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia,
relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan sosial.
3.
Banyaknya Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang
oleh dinamika sosial yang lebih statis menyebabkan mereka kurang
menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri dengan
memegangi teks-literalis nash.
4.
Mengikuti guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat
tergantung pada hadits dan atsar dan sangat hati-hati dalam
menggunakan ra’yu (qiyas).
B.
Aliran Ra’yu
Setelah terbunuhnya
Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut
balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim
muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus
berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah
itu Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah
dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling
menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang
dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah
Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits
palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah
sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq)
yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan
ra’yu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz.
Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
- Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
- Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
- Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
- Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syari’ah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syari’atannya.
- Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham
antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada suatu hari Rabi’ah
(ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits) tentang
diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabi’ah :”Berapa diyat
terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?”
Said Al Musayyab: “10
ekor onta”.
Rabi’ah : Jika dua anak
jari ?”
Said Al Musayyab : “20
ekor onta”
Rabi’ah : “Jika tiga
anak jari ?”
Said Al Musayyab :”30
ekor onta”.
Rabi’ah : “Jika empat
anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20
ekor onta”
Rabi’ah : ”Apakah makin
banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?”
Said Al Musayyab :
“Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah
terangkan”.
Demikianlah ahli hadits
hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli ra’yu tidak
begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui illlat-illat
hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana diyat empat
anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari
sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al
Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auza’i
bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auza’i : “Mengapa
tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal ?”
Abu Hanifah : “Karena
tidak ada hadits yang shahih dari Rasul”.
Al Auza’i : “Az Zuhri
telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari ayahnya Abdullah bin
Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat tangan
saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.
Abu Hanifah : “Telah
diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah dari
Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan
selain dari saat memulai shalat saja”.
Al Auza’i : “Saya
kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian
tentang Hammad”.
Abu Hanifah : “Hammad
lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih
pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada
Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.
Mendengar jawaban itu,
Al Auza’i pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah
sebagai tokoh ahli qiyas
lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa
contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli ra’yu.
C.
Aliran zahiri
Dipelopori oleh Daud bin
Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna zhahir
(tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits tanpa mau memegangi
makna lainnya.
Kalau digambarkan secara
kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan metode
istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih
seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali
(Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i - Hanafi Rasionalis
D.
Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca
Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa ulasan tentang
Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan
pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan pendapat
didalam Fiqih :
1.
Perbedaan memahami Al-Qur’an
A.
Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B.
Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C.
Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)
D.
Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E.
Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F.
Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G.
Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2.
Perbedaan Memahami Hadits
A.
Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B.
Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C.
Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D.
Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E.
Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F.
Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan)
dengan qiyas dan atau illat syari’ah
3.
Perbedaan Metode Ijtihad.
A.
Imam Abu Hanifah :
a.
Berpegang pada dalalatul Qur’an
i.
Menolak mafhum mukhalafah
ii.
Lafz umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
iii.
Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat
dijadikan dalil
b.
Berpegang pada hadis Nabi
i.
Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis
ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii.
Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat
matan-nya
c.
Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d.
Berpegang pada Qiyas
i.
mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e.
Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada
sebab khusus yang lebih kuat).
B.
Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan
Sunnah yang mutawatir)
i.
zhahir Nash
ii.
menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal
perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis
ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis
ahad)
d. Qaul shahabi
e.
Qiyas
f.
Istihsan
g.
Mashlahah al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan,
contoh beliau membolehkan intimidasi dalam
penyidikan tersangka
kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
C.
Imam Syafi’i
a.
Qur’an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an
dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu
ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i
digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum
dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an
dalam kasus tertentu)
b.
Ijma’
c.
hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’
daripada hadis ahad)
d.
Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan
hadis ahad daripada Qiyas)
e.
Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal
penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D.
Imam Ahmad bin Hanbal
a.
An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti
Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur’an)
menolak ijma’ yang
berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)
menolak Qiyas yang
berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b.
Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c.
Ijma’
d.
Hadis dhaif
e.
Qiyas
Next
0 komentar:
Posting Komentar
Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com