Ahlus Sunnah Wal Jamaah
6
B.
Mafhum
Mafhum adalah makna yang
ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat,
melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua)
jenis :
a.
Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya
sepadan dengan mantuq, terdiri dari :
1.
Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil
hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’
.”
Ayat ini mengharamkan
perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan
pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti
mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam
teks ayat.
2.
Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq.
Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya … “
Ayat ini melarang memakan
harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah),
perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan
harta anak yatim juga diharamkan.
b.
Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya
kebalikan dari mantuq, terdiri dari :
1.
Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS
Al-Hujurat [49] : 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti … “
Ayat ini memerintahkan
bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka
dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang
dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti
berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
2.
Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS
At-Talaq [65] : 6 :
“Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkah.”
Dengan pemahaman perbandingan
terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam
keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3.
Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
“Kemudian
jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain
… “
Dengan pemahaman terbalik,
maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan
lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.
4.
Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan …
“
Dengan pemahaman
terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon
pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a.
Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah
(perbandingan terbalik).
b.
Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3.
Cakupan Lafazh
A.
‘Am (umum) – Khas (khusus)
Lafazh ‘Am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya
luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu
tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS
Al-Ankabut [29] : 33 :
“Sesungguhnya
Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”
Berdasarkan keumuman lafazh
“keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah
ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan
anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] :
45 :
“Dan nuh
berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku
termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”
Kemudian Allah menjawab
permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Allah
berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan).”
Jawaban Allah ini
mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan akan
diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk ‘Am
:
1.
Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat
dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2.
Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan,
seperti :
a.
QS Al-Baqarah [2] : 272 :
“Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.”
b.
QS An-Nisa’ [4] : 123
“Barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan
kejahatan itu.”
3.
Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)
a.
QS Ali Imran [3] : 185 :
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan mengalami mati.”
b.
QS Al-Baqarah [2] : 29 :
“Dia lah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
4.
Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra’
[17] : 110 :
“Dengan nama
yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”
5.
Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang
bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al
Bawarah [2] : 48 :
a.
QS Al-Baqarah [2] : 48 :
“Dan jagalah
dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat
membela orang lain, walau sedikitpun.”
b.
QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka,
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka.”
6.
Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
a. QS Al-An’am [6] : 130 :
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami
dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”
b.
QS At-Taubah [9] : 36 :
“Dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi
kamu semuanya.”
7.
Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Ma’idah
[5] : 42 :
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
8.
Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14]
: 34 :
“Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”
9.
Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi,
al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya.”
10.
‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah
[2] : 43 :
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’
“.
Macam-macam penggunaan
lafazh ‘am (umum) :
a.
‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi
[18] : 49 :
“Dan tuhanmu
tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun
bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu.”
Kata “ummhat” ibu-ibumu
bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b.
‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali –Imran
[3] : 39 :
“Kemudian
malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di
mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat
diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c.
‘Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] :
97 :
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”
Ayat itu umum untuk semua
manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus)
dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari
‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan
sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng
khusus).
1.
Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a.
Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,
kecuali orang-orang yang
bertaubat … “
b.
Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“(Dan
diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu)
telah kamu campuri.”
Anak tiri haram dinikahi,
yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi
kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c.
Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat “jika ia meninggalkan
harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta
yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d.
Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Dan
janganlah kamu mencukur kepalamu,
sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban sampai
ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat
haji.
e.
Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] :
97 :
“Melaksanakan ibadah haji
adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
2.
Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
a.
Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali
quru’.”
Ayat tersebut bersifat umum,
berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan
yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish)
yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan
perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS
Al-Ahzab [33] : 49 :
“Apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya.”
b.
Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS
Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli
adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu
Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan
binatang jantan dengan binatang yang lain.”
(HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan
:
“Dari Ibnu Umar,
bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh
yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang
dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan
(dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.”
(HR Muttafaqun ‘alaihi).
c.
Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’ [4]
: 11 :
“Allah
mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan
secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak.
d.
Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera.”
Ayat tersebut dikecualikan
bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang
dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat
fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka
mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami.”
e.
Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du
[13] : 6 :
“Allah adalah
pencipta segala sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah
bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f.
Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] :
23 :
“Sesungguhnya
aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera kita menetapakan segala
sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang
dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis
Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang
mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq
adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan
tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat
laut …. ?”
Dalam ayat tersebut,
dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut
siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas
dan takhsis :
1.
Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas
(khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak
terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2.
Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang
meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada
ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu
secara mutlak.
3.
Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya,
maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah
dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna
yang umum tersebut.
4.
Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang
menolak mafhum.
5.
Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa
oleh hadits mutawatir.
B.
Mujmal (global) – Mubayyan (terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits
adalah sebagai “bayan” (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qur’an yang masih
mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal
tersebut dapat dipahami maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh
yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan
atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali
harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai
lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang
sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan
berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1.
Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat
dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah
mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
“Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai
anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang
meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar
bin Khtattab, yang meyatakan :
“Kalalah adalah orang yang
tidak mempunyai anak.”
2.
Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang
tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah
dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a.
Dari ayat Al-Qur’an yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
“…Padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam
ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami”.
Kalimat “Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata
“dan”. Bisa berkonotasi kata penghubung (‘athaf) atau Kata depan permulaan
kalimat baru (isti’naf). Jika kata “dan” dianggap sebagai kata penghubung, maka
konotasi kalimat tersebut adalah “hanya Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya yang mengetahui takwilnya”. Namun, jika kata dan dianggap sebagai
permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui
takwilnya” sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene tidak tahu
takwilnya- berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”. Oleh karena
itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu
nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
“Kami
turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Ayat ini menunjukkan Al-Qur’an
diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat
yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf “dan”
pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya
adalah “yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat
demikian.
b.
Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
“Siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “
Kata
“kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari
sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
“Saya mendengar Rasulullah
bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- ‘Siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya
kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.’ ”
Macam-macam bayan
(penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1.
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS
Al-Baqarah [2] : 196 :
“Tetapi jika
ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Ayat tersebut merupakan bayan
(penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti
korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang
sembelihan atau tidak mampu.
2.
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
Contohnya Rasulullah melakukan
perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang
kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3.
Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS
Al-Baqarah [2] : 43 :
“…dan
dirikanlah shalat…”
Perintah
mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu
bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat”
(HR Bukhary).
4.
Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran
zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah
mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada
petugas zakat beliau.
5.
Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan
tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan
sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6.
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada
shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama,
yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
7.
Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah
melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian
tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat
melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak
menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu
untuk menjawabnya.
8.
Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah
ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang
menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang
lain baginya.
Apabila datang penjelasan
(bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna
lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan),
seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan
lainnya.
Macam-macam mufassar :
1.
Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat
(bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada
makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan
kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur
[24] : 4 :
“Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah
lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih
atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah
[9] : 36 :
“Perangilah
orang-orang musyrik itu semuanya.”
Kata “semuanya” itu adalah
mufassar.
2.
Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya
global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti
dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang
lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata
tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh
tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti
yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
C.
Mutlaq (tanpa batasan) – Muayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang
menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS
Al-Mujadalah [58] :
3 :
“Dan
orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa
dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang
menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS
An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan tidak
layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena
tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman”
Lafazh “budak” diatas dibatasi
dengan “yang beriman”
Macam-macam
mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1.
Lafazh yang
mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya
(membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu
dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa’
[4] : 11 :
“(Pembagian
harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar
hutangnya.”
Wasiat yang dimaksud dalamayat
diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian
wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak
ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam
ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang
kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
2.
Sebab dan
hukumya sama, maka pengetian lafazh
mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS
Al-Maidah [5] : 3 :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging
babi.”
Lafazh “darah” pada ayat
diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-An’am [6] :
145 :
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang
diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir
atau daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat
ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”
Karena ada persamaan
hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3
yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
3.
Sebab dan hukum
salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai
dengan ke
mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum
berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 :
“….Maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu”
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu,
yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
lafazh “(basuhlah) tanganmu
sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua nash diatas mempunyai
sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu :
hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah
mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah
membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab
berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
“Apabila
mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka rujukilah
kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lafazh “saksi” pada ayat ini
mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] :
282 :
“Apabila kamu
berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya…
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).”
Lafazh “saksi” pada ayat ini
muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.
Kedua ayat diatas
mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang saksi”. Tetapi pada segi
sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah “rujuk pada
istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.
c.
Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
Bila dibandingkan dengan QS
Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini
sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong
tangan.
Next
0 komentar:
Posting Komentar
Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com