Minggu, 20 April 2014

Indonesia Butuh Presiden yang tidak Emosional - 24 Maret 2014 20:25 wib


 Ilustrasi/MI/Atet Dwi Pramadia

Metrotvnews.com, Jakarta: Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi menilai Indonesia ke depan membutuhkan pemimpin yang tidak emosional.

Karena itu, sikap emosional sebagaimana ditunjukkan oleh calon presiden (capres) Partai Gerindra  Prabowo Subianto saat kampanye terbuka dan diduga sebagai sindiran ke capres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Joko Widodo (Jokowi) dengan istilah `Pemimpin Boneka` justru tidak akan mendapatkan simpati publik.

"Kestabilan emosi pemimpin bisa terlihat dari caranya dia berkomunikasi. Dengan Indonesia yang majemuk, butuh kesabaran pemimpin dalam  mengemong rakyatnya. Apa jadinya kita punya presiden pemarah?,"sergah Ari Junaedi, Senin (24/3).
Dia kemudian mengacu hasil penilaian para guru besar perguruan tinggi se Indonesia  soal calon pemimpin nasional yang dirilis Pool Tracking, yang menempatkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Gubernur DKI Jakarta Jokowi sebagai pemeringkat atas.  Aspek-aspek penilaian selain kepemimpinan juga pada tingkat emosional pemimnpin.

Nama Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berada di luar lima besar hasil penilaian para mahaguru berbagai disiplin ilmu yang terlibat dalam fokus group discusion Pool Tracking.

Ari Junaedi melihat hasil penilaian para guru besar tersebut memberikan paradigma baru penilaian capres mendatang. Penilaian tersebut makin memperkaya selera pemilih di pilpres mendatang.

"Hasil penilaian para guru besar tersebut menunjukkan aspek emosional para kandidat menjadi salah satu penilaian utama," jelas Ari.

Menurut pengajar Program Pascasarjana UI, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Dr Soetomo Surabaya, dan Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta, tidak selalu persoalan Indonesia harus dihadapi dengan gaya komunikasi temperamental.

"Ada kalanya butuh komunikasi solutif, bukan sekadar komunikasi gertak sambal. Menurut saya, cara cara yang ditampilkan Prabowo jauh dari kaidah komunikasi solutif. Lebih banyak marahnya ketimbang komunikasi yang menyejukkan," ujarnya.

"Pemimpin butuh kestabilan emosi dan hal ini bisa dijadikan patokan pemilih untuk menentukan calon presidennya," imbuh peraih penghargaan World Customs Organization Sertificate of Merit 2014 karena pola pengajaran ilmu komunikasinya yang inspiratif.

Sedangkan politikus senior PDI Perjuangan Pramono Anung menilai apa pun dan siapa pun yang menyindir dan mengejek Jokowi sebagai bagian dari kampanye, sehingga itu memang sah-sah saja.

"Tetapi rakyat punya pilihan masing-masing, sekarang kan yang milih bukan elite, tetapi rakyat secara langsung sehingga semakin disindir, dijelek-jelekkan, dienyek-enyek, saya yakin kecintaan publik pada Jokowi malah meningkat," katanya.

Menurut Wakil Ketua DPR ini, sekarang masyarakat ingin politik santun, dengan nilai, ide, dan gagasan.

"Kalau marah-mmarah, masyarakat akan melihat secara langsung, jadi makin marah mereka (elite), makin baik untuk Pak Jokowi. Makin mengejek Jokowi, masyarakat makin baik buat Jokowi," jelas Pramono.(*)


(Agt)

Sumber Berita : metrotvnews.com

Logo PDI Perjuangan (Logo PDI-P)