Senin, 05 Desember 2011

Ilmu Fiqih Ahlus Sunnah Wal Jamaah Post-4


Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ilmu Fiqih

4
VI.            Ittiba’ dan Taqlid
 
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.
 
Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :
“Ittiba’ dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.
 
Hukum Taqlid :
 
a.       Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.
b.       Taqlid yang haram :
1.       Tidak menghiraukan nash syara’ semata-mata lantaran mengikuti  orang tua, moyang-leluhur.
2.       Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3.       Taqlid buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c.       Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum syara’ secara mendalam.
 
Periode Taqlid :
 
1.       Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2.       Periode kedua dari abad ke-IV H – abad ke-X H.
3.       Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4.       Periode keempat dari masa Muhammad Abduh – sekarang.
 
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya :
 
1.       Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2.       Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3.       Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).
4.       Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5.       Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6.       An Nawawi
7.       Al Bulqini (724 – 805 H).
8.       Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9.       Al Asnawi (714-784 H)
10.         Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11.         Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H).
12.         Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13.         Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14.         Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15.         Rasyid Ridha.
 
 
VII.          Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
 
A.      Wajib
 
Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
 
Hukum wajib terbagi menjadi :
 
1.       Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
 
2.       Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3.       Wajib Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4.       Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
 
5.       Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
 
6.       Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
 
7.       Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.
 
8.       Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9.       Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10.         Wajib Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11.         Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12.         Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13.         Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.
14.         Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.
 
B.    Sunnat
 
Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
 
Pembagian Sunnat :
 
1.       Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jama’ah.
2.       Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3.       Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4.       Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
 
C.    Mubah
 
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
 
Catatan untuk perkara yang mubah :
 
1.       Jangan berlebihan.
2.       Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3.       Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
 
D.    Makruh
 
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
 
 
Pembagian Makruh :
 
1.       Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2.     Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
 
E.    Haram
 
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.

Next

0 komentar:

Posting Komentar

Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com