Ahlus Sunnah Wal Jamaah
4
VI.
Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ adalah
mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen,
dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad)
orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al
Mustafa mengatakan :
“Ittiba’ dalam
agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.
Hukum Taqlid :
a.
Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum
salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.
b.
Taqlid yang haram :
1.
Tidak menghiraukan nash syara’ semata-mata lantaran mengikuti
orang tua, moyang-leluhur.
2.
Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya
kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3.
Taqlid buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada
hujjah dan argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat
orang tersebut.
c.
Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang
sudah muktabar mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih,
terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum
hukum syara’ secara mendalam.
Periode Taqlid :
1.
Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya
Baghdad abad ke-VII H),
2.
Periode kedua dari abad ke-IV H – abad ke-X H.
3.
Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4.
Periode keempat dari masa Muhammad Abduh – sekarang.
Dalam masa maraknya
masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap
menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1.
Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2.
Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3.
Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).
4.
Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5.
Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6.
An Nawawi
7.
Al Bulqini (724 – 805 H).
8.
Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9.
Al Asnawi (714-784 H)
10.
Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11.
Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H).
12.
Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13.
Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14.
Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15.
Rasyid Ridha.
VII.
Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
A.
Wajib
Yaitu
pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum
wajib terbagi menjadi :
1.
Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi
waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak
ditentukan oleh syara’.
2.
Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat
lima waktu, puasa ramadhan.
3.
Wajib Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu
shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4.
Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan
waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai
maghrib.
5.
Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu
waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang,
contohnya ibadah haji.
6.
Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak
dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7.
Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu,
bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu
yang lain, contoh : mengurus jenazah.
8.
Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9.
Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya,
contoh : sedekah, wakaf.
10.
Wajib Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca
Al Fatihah dalam shalat.
11.
Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh =
kafarah sumpah.
12.
Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13.
Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya
qada’an.
14.
Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang
sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B.
Sunnat
Yaitu
bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1.
Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban
agama, contoh : azan dan jama’ah.
2.
Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat
kebiasaan, contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila
ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3.
Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang
ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4.
Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh
Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C.
Mubah
Yaitu
sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan
untuk perkara yang mubah :
1.
Jangan berlebihan.
2.
Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada
contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi
sarana kemaslahatan yang lain.
3.
Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari
akhirat.
D.
Makruh
Yaitu
bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1.
Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi
terpuji bila ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di
akhir waktu.
2.
Makruh
Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum
qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E.
Haram
Yaitu
bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima
waktu, makan daging babi.
Next
0 komentar:
Posting Komentar
Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com