Senin, 05 Desember 2011

Ilmu Fiqih Ahlus Sunnah Wal Jamaah Post-5


Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ilmu Fiqih

5
 
VIII.       Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum
(Mahkum ‘Alaih)
 
Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
 
a.       Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b.       Sanggup dikerjakan.
c.       Dapat dibedakan.
d.       Diketahui berdasarkan dalil.
e.       Untuk melaksanakan taat (ibadah).
 
Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
 
a.       Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b.       Baligh (dewasa).
c.       Berakal (sadar dan waras).
 
Halangan – halangan :
 
1.       Gila
2.       Setengah gila
3.       Lupa
4.       Tidur
5.       Pingsan
6.       Mabuk
7.       Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8.       Haid
9.       Nifas
10.   Mati
11.   Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12.   Silap (tidak sengaja)
13.   Paksaan
14.   Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15.   Tua renta pikun.
 
 
IX.            Ushul Fiqih
 
A.      Pengertian
 
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).
 
Macam-macam dalil :
 
A.      Dalil naqli (teks) :
1.       Al-Qur’an
2.       Sunnah (Hadits)
 
B.      Ijma’ (konsensus)
C.      Dalil aqli (akal)
1.       Qiyas
2.       Istihsan
3.       Maslahah Mursalah
4.       Dan lain-lain.
 
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
 
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”
 
“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) ulil-amri.
“Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Qur’an dan atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
 
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44
 
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.”
 
Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).
 
Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah kembali bertanya : ‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz akhirnya menjawab : ‘ Ajtahidur ra’yi  Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu Dawud).
Hadits Mu’adz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan Hadits.
 
B.    Sumber Hukum Pimer
 
1.       Al-Qur’an
 
Al-Qur’an adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih,  mantuq-mafhum, ‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
 
2.       Sunnah (Hadits)
 
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
 
1.       Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2.       Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3.       Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4.       Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5.       Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6.       Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
 
Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).
 
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.
 
C.      Istinbath hukum dari dalil Al-Qur’an dan Hadits
 
1.       Kejelasan makna lafazh
 
Tingkat  kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
 
a.       Zhahir, paling rendah  tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
 
Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3).
 
Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
 
b.       Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
 
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).
 
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
 
c.       Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
 
Perhatikan firman Allah :
 
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
 
(QS Al-Maidah [3] : 38).
 
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
“tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”
 
“Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”
 
Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
 
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
 
d.       Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah :
 
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4).
 
Demikian juga hadits nabi :
 
“Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.”
 
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
 
a.       Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
 
Hadits nabi :
 
“Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”
Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja.  Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
 
b.       Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai  dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
 
c.       Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
 
d.  Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
 
1.       Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
 
2.       Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat,
 
“wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan”
 
(QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.
 
Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
 
3.       Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
 
4.       Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
 
5.       Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb
 
6.       Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7.       Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
 
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
 
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam – Mutasyabih)
 
2.       Petunjuk Lafazh (dhalalah)
 
A.      Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)
B.      Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).
 
A. Mantuq
 
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
 
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
 
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
 
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
 
Penyifatan  “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
 
2.       Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
 
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
 
Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
 
3.  Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
 
4.  Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
 
     “Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”
 
      Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
 
     “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”
 
      Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
 
5.  Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :
 
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
 
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.

0 komentar:

Posting Komentar

Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com