Ahlus Sunnah Wal Jamaah
5
VIII.
Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum
(Mahkum ‘Alaih)
Obyek hukum dalam
fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan
berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa
syarat :
a.
Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b.
Sanggup dikerjakan.
c.
Dapat dibedakan.
d.
Diketahui berdasarkan dalil.
e.
Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek
hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang
mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a.
Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b.
Baligh (dewasa).
c.
Berakal (sadar dan waras).
Halangan
– halangan :
1.
Gila
2.
Setengah gila
3.
Lupa
4.
Tidur
5.
Pingsan
6.
Mabuk
7.
Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8.
Haid
9.
Nifas
10.
Mati
11.
Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12.
Silap (tidak sengaja)
13.
Paksaan
14.
Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15.
Tua renta pikun.
IX.
Ushul Fiqih
A.
Pengertian
Ushul fiqih adalah
kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath
(mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang
tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A.
Dalil naqli (teks) :
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah (Hadits)
B.
Ijma’ (konsensus)
C.
Dalil aqli (akal)
1.
Qiyas
2.
Istihsan
3.
Maslahah Mursalah
4.
Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS
An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan
taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika
kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan
RasulNya.”
“Taatilah Allah”
merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “
merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri
(pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus)
ulil-amri.
“Kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah
dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Qur’an dan
atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS
An-Nahl : 44
“Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka agar mereka
berpikir.”
Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan
akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu menggunakan segala daya upaya
kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang
tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari
Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli
(hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan memutuskan
hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan memutuskan
dengan apa yang ada pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya lagi : ‘jika
tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku putuskan
dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah kembali bertanya : ‘Jika tidak
terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz akhirnya menjawab : ‘
Ajtahidur ra’yi
Saya akan ber ijtihad dengan
akal-pikiran
saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk
dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu
Dawud).
Hadits Mu’adz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan
oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad
dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan
Hadits.
B.
Sumber Hukum Pimer
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah
sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an
bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa
khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin
terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk
lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga
semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan
perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri
Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, ‘am-khas,
mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
2.
Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan
sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb
:
1.
Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2.
Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3.
Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4.
Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari
Al-Qur’an.
5.
Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6.
Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
Hadist nabi yang
mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat
Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan
sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke
sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan)
wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan
mukhtaliful hadits).
Demikian pula dhalalah
(petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan
pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada
perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi
dzunni dhalalahnya.
C.
Istinbath hukum dari dalil Al-Qur’an dan Hadits
1.
Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan
kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a.
Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan
adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti
pada ayat :
“Dan
jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
(QS An-Nisa’ : 3).
Dari segi “zhahir”
lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri
dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan
menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
b.
Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan
makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti
pada ayat :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.”
(QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera
seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih
dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
c.
Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang
menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman
Allah :
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
(QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat diatas masih
bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang
menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang
menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
“tidak dikenakan
hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula
pencuri buah-buahan.”
“Tidak dikenakan
hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”
Demikian juga tidak
dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam
pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong
tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
Dalil yang mufassar
tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
d.
Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain
(ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman
Allah :
“Dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya.”
(QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits
nabi :
“Jihad itu
terus menerus sampai
hari kiamat.”
Sedangkan lafazh yang
tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a.
Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan
makna yang dimaksud (maudlul).
Hadits nabi :
“Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”
Lafazh “qatil”
(pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang
sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja,
apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ?
Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh lain yaitu
lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara
sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka
pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan,
karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi
sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian juga pencuri
kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau
bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang
yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah
harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan
Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain
kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan
Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal
memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus
dihukum potong tangan.
b.
Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada
lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari
satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa
berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh
musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan
kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus
dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu
penafsirannya.
c.
Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan
kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara
pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal
tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang
perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka
dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan
nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d.
Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan
ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun
dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih
adalah :
1.
Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya
atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2.
Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami
maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid,
dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat,
“wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan
rumput-rumputan”
(QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau
buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud
“al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar,
sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan
memaksakan diri”.
Riwayat lain dari
Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri :
”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
3.
Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai
sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha
Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4.
Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan
mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke
langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
5.
Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu
pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka,
dsb
6.
Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin,
alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7.
Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Yang
perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang
memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam
didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca
kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam – Mutasyabih)
2.
Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A.
Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat
(tekstual)
B.
Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat
(kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna
lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan
pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5
(lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh
yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud
secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain.
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Maka
(wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan “sepuluh”
dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan
lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2.
Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk
lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda
dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain
meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro
ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna
“al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim).
Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga
makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah
(marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
“Dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti haid
dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun
penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas
(zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan
kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3. Mu’awwal, adalah
lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda
dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada
dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal
diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari
makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh
lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan
SAYAP
4. Dalalah istida’
adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat
terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada
QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka
(wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang
lain.”
Ayat ini
memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”,
sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka
dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya
tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”
Ayat ini
memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata
“bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5. Dalalah Isyarah
adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat
berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ;
187 :
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan
sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan
junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar
sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut
atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan
penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka
membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam
yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti
membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
0 komentar:
Posting Komentar
Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com