Ahlus Sunnah Wal Jamaah
7
Jadi Hukum lafazh mutlaq -
muayyad :
-
- Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
- Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
- Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
4. Kaidah Makna Kata
a.
Makna Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada
lehernyta” maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b.
Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat “Singa padang pasir
menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk
seseorang yang dikenal berani.
c.
Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya makna hakikat, majaz
dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para
imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
(Baca kembali Ushul Tafsir
point VIII)
5. Amr (perintah) dan
Nahi (larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat
berdampak hukum :
a.
Menunjukkan wajib.
b.
Menunjukkan sunah.
c.
Menunjukkan suruhan saja.
d.
Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut Imam
Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita
haid mengerjakan sholat.
b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak
binatang yang masih dalam perut induknya.
c. Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan
puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang
melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.
d.
Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu
sesudah azan sholat Jum’at dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir
point VII)
6. Pertentangan dan
Kompromi Antar Dalil
a.
Ta’arudl
Yaitu pertentangan antar
dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :
“Apabila
bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk
menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat dilakukan
hendaklah kita ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah
satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui mana yang
terdahulu dan mana yang terkemudian, maka hendaklah yang terkemudian dipandang
menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui kedua-duanya maka
ditangguhkan.”
b.
Kompromi
Firman Allah pada QS
Al-Baqarah : 180
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya yang dekat”
Firman Allah pada QS An-Nisa’
: 11
“Allah
memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki
adalah seperti bagian dua wanita ….. “
Ayat pertama mewajibkan
berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan ayat kedua mewajibkan aturan
hukum waris bagi orang yang meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat
tersebut saling betentangan padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu
kewajiban berwasiat itu apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan
maksimal senilai sepertiga dari hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak
mendapat warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari yang
diwasiatkan harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam
syariat Islam.
c.
Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil yang
saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana
yang lebih lemah (marjuh).
Prinsip-prinsipnya :
1.
Al-Qur’an lebih kuat dari Hadits
2.
Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur
3.
Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad
4.
Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5.
Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari
Bukhari saja dan atau muslim saja.
6.
Hadits Marfu’ (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf
(disandarkan hanya kepada Sahabat)
7.
Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.
8.
Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang memubahkan
ditarjihkan yang mengharamkan (untuk kehati-hatian).
9.
Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang menghendaki,
didahulukan yang menghalangi.
10.
Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits,
point Mukhtaliful Hadits)
d.
Nasakh
Apabila tidak dapat
dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan
mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang
terkemudian.
1.
Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada
hadits Nabi SAW :
“Aku dahulu melarangmu
dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan
kamu kepada akhirat.”
2.
Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir
point V)
D.
Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap yang mempelajari ushul
fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang
dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis yang bersesuaian dengan juz’iyyah
(bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada
masalah furu’ (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan
membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :
“Apabila kaidah-kaidah fikih
kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu’ (hukum fikih)”
Kaidah Fikih
Global :
“Mengambil
maslahat dan menolak masfadat”
Kaidah Pokok, ada 5 (lima)
yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu’ yang banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : “segala
sesuatu bergantung kepada niat”
Dasarnya hadis nabi “Sesungguhnya
segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu
hanyalah memperolah apa yang diniatkannya”
Kaidah Pokok ke-2 : “yang
yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”
Dasarnya hadis nabi “Apabila
seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian sangsi apakah
telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari
masjid sehingga mendengar suara atau mendapat bau”
“Apabila seseorang dari
kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang telah
dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu
dan berpeganglah kepada apa yang meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam
kesempitan ada kelapangan”
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah
tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
QS Al-Haj :78 : “Dan
Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agama” Hadis nabi “Agama itu
mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”
Hadits nabi : “Mudahkanlah
jangan dipersukar.”
Kaidah Pokok ke-4 :
“Kemudhorotan harus dihilangkan”
Dasarnya Firman Allah “Dan
janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumi”
dan ayat “Sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan”
kemudian hadis nabi “tidak
boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat kemudhorotan pada orang
lain”
Kaidah Pokok ke-5 : “Adat
dapat dijadikan hukum”
Dasarnya ayat “Dan
bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut” dan hadis nabi “Apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah”
Dari lima kaidah pokok diatas
terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan
sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih
diutamakan daripada mengambil manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil)
harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara
dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan
yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram
juga haram.
6. Kemudhorotan harus
dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa
melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu
mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah
makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua
perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah
menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furu’ (cabang)
yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau
yang qoth’i)
12. Hak keuntungan ada bersama
resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih
utama dari mengangkat (kuratif).
14. Yang lebih kuat meliputi
yang lemah, bukan sebaliknya.
E.
Sumber Hukum Sekunder
3.
Ijma
Ijma adalah kesepakatan
(konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum
syara’ yang bersifat praktis ‘amaly.
Dalil yang menjadi dasar Ijma’
:
Firman Allah dalam QS An Nisa’
[4] : 59
“Taatilah
Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.”
“Taatilah Allah” merujuk
kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk
kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang
urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
“Apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.”
“Umatku tidak akan
bersepakat dalam kesesatan.”
“Ingatlah, barangsiapa
yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena syaitan
adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang,
daripada dari pada dari pada seorang yang menyendiri.”
a. Ijma’ Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika
mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan
fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits
Nabi tentang masalah tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka
Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila
tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan
berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti
cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu
Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijma’
sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan
hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
b. Ijma’ Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru
bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan
tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum
muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan
agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar
menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Masing-masing imam mujtahid
tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya,
agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijma’ ulama
Kufah, begitu pula Imam Malik menghargai ijma’ ulama Madinah.
Tingkatan Ijma’ :
a.
Ijma’ Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b.
Ijma’ Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian
pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak
ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga yang
mendiamkannya. Ijma’ sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat dijadikan
hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya,
bisa jadi sedang memikirkannya.
4.
Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS
At-Taubah : 100 :
“Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah
kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”
Diantara metode
ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : “Bila ada konsensus pendapat dari sahabat
maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka saya
pilih. Bila ada pendapat dari tabi’in maka saya teliti.”
5. Qiyas
Qiyas adalah memberikan hukum
yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya
dalam Al-Qur’an atau Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang
memabukkan dengan hukum khamr (arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An
Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah
Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih
dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”
“Kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah)
dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Qur’an)
dan atau Sunnah Rasul-Nya (Hadits).
b.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
“Dan dalam
qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.
Dalam ayat diatas tampak bahwa
illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.
c.
Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
“Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Dari ayat diatas
tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena
menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena menghalangi manusia dari
mengingat Allah.
d. Hadits – Hadits Nabi :
1.
Dari Umar bin Khatab : “Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni
mencium istriku, sedang aku sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah bersabda :
‘Bagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang
berpuasa ?’. ‘Hal itutak mengapa’, jawabku. ‘Maka mengapa (kamu menanyakan) ?’
Jawab Rasulullah”.
(HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan
bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika berpuasa dengan
berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung persamaan illat yaitu
mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap membatalkan.
2.
“Seorang
wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : “Ya Rasulullah,
ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat
mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan
haji untuknya ?. ‘Benar’, jawab Nabi. “kerjakan haji untuknya. Tahukah kamu
andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ?
‘Ya’, jawabnya. Rasulullah berkata : ‘Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak
Allah lebih berhak untuk dipenuhi’ ”.
(HR Bukhary dan Nasa’i).
Riwayat diatas menunjukkan
Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada
sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab
kepada Abu Musa Al Asy’ari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :
“Lihatlah banyak hal-hal yang
serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu”.
Rukun Qiyas ada 4 (empat)
yaitu :
1.
Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qur’an
dan hadits.
2.
Furu’, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3.
Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4.
Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan
juga pada hukum furu’.
Syarat-syarat qiyas :
a.
Hukum asal tidak dinasakh.
b.
Hukum asal jelas nashnya.
c.
Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d.
Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e.
Mempunyai illat yang sama.
f.
Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g.
Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h.
Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syara’.
Macam-macam Qiyas :
1.
Qiyas Aula / Awlawi / Qath’i
Yaitu qiyas hukum yang
diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
“Kedua mata itu tali pengikat
lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah tali”.
Kita pahamkan bahwa gila,
pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut membatalkan
wudhu.
2.
Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu
kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisa’ :
25 :
“Maka atas
mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas
wanita-wanita yang merdeka”.
Kita pahamkan
bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan
dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang
merdeka.
3.
Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu
yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut
menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan
haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena
illatnya sama sama memabukkan.
4.
Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki
kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar
kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta
anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar
illatnya sama-sama harta yang berkembang.
5.
Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas
illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan
hukum pada asal.
6.
Qiyas fi Ma’nal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas
illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar
hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.
7.
Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi
washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah
penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan
dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya, seorang budak ketika
merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai
manusia karena ia anak keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai
harta yang dapat diperjual-belikan dan diwakafkan.
8.
Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik
dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furu’ diyakini
tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan
haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan ‘cis’, dengan
illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9.
Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik
dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan
pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10.
Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya
setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung
kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama
sama ditimbang.
11.
Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan antara
asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta wujudnya sebab
itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.
12.
Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak ada
illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya
itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
“Dan pada kemaluan
seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah kami memuaskan
syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi : ‘Bagaimana pendapatmu jika dia
meletakkan syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila
ia meletakkan pada yang halal, ada pahala baginya”.
(HR Muslim).
13.
Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat
berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a.
Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya
mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau dengan
isyarat atau dengan
ijma’.
Misalnya
firman Allah QS An Nur : 27 :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghuninya”.
Sehubungan dengan ayat ini,
maka Rasululah bersabda : “Ijin dilakukan semata-ata untuk kepentingan
(keselamatan) mata”.
b.
Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan menjama’
shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu menjadi sebab, akan
tetapi ada
keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya jama’. Maka dipahamkan
bahwa sebab disini adalah hujan.
14.
Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya
memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid
tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini
tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syara’ bahwa
kesukaran itu meringankan hukum.
15.
Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat
yang tidak tegas syara’ membolehkan atau menolaknya.
Misalnya, wanita yang ditalak
tiga saat suami menjelang mati dapat menerima warisan karena kita lawan
maksudnya dengan mengqiyaskan kepada pembunuhan agar cepat mendapat warisan,
maka si pembunuh tidak mendapat warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).
6. Istihsan
yaitu : keluar dari nash
karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus
disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba
air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas kulli
karena pertimbangan memelihara hukum syara’ dengan jalan mempertimbangkan aspek
kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk
memperoleh pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu mengekalkan hukum yang
telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh :
seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah
batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu pertalian antara dua
hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat
dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya
wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10. Sadudz
Dzariah
Yaitu mencegah sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang
menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita,
berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga
haram karena semua itu jalan menuju zina
11. Urf
yaitu kebiasaan yang tetap
pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syara’, contoh = sudah
menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos
kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli
masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan
Urf.
12.
Adah
yaitu sesuatu yang dikehendaki
manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
13. Ta’amul
yaitu adat-istiadat kebiasaan
dalam pergaulan mumalah manusia
14.
Bara’ah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang
memberatkan
15. Istiqra’
yaitu memeriksa seteliti
mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh
sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul
pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu
hukumnya sunnah.
16. At-Taharri
yaitu mempergunakan segala
kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
17. Ar Ruju’u
ilal manfa’ati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum
berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu
bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal muqaddarati wal qaulu bi ‘itibaaril
mashalih fil mu’aamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum dengan
nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang,
contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi
perpecahan kaum muslimin
19.
Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu berubahnya hukum
(masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.
Yang mula-mula dan
menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab yang
memerintahkan sholat Tarawih berjama’ah dibawah satu imam dengan pertimbangan
lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat kepada muallaf (orang yang baru
masuk Islam) dengan pertimbangan Islam sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah
taklukan kepada prajurit yang menaklukkan demi kepentingan kemaslahatan generasi
yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri pada saat paceklik dan kelaparan
dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20. Al akhdzu
bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
yaitu berubahnya hukum karena
berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para
Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
21. Al Ishmah
yaitu menjadikan hujjah
perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul
memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan
Bani Quraizah.
22. Syar’u man
qablana
yaitu : hukum syariat orang
sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
23. Al ‘amalu
bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan prioritas
memegangi nash yang lahir
24. Al akhdzu
bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang
lebih kuat dari dua dalil
25.
Al Qur’ah
yaitu menetapkan hukum
berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
26.
Al ‘amalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang
lebih rajih (kuat).
27. Ma’qulun
nash
yaitu mengamalkan dari apa
yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka
dibawa ke makna majasi.
28.
Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan
suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
29. Tahkimul
hal
yaitu menyerahkan keputusan
kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
30. ‘Umumul
balwa
yaitu membolehkan sesuatu yang
sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
31. Al ‘amalu
bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang
lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat
kemiripannya
32.
Dalalatul iqtiran
yaitu menyamakan hukum karena
bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada
kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”
33.
Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh
dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi “berhati
hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allah”
34. Ru’yan
nabi
yaitu berpegang kepada apa
yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi : “mimpi seorang muslim
itu 1/46 kenabian”
35. Al akhdzu
bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang
paling mudah dari dua pendapat
36. Al akhdzu
bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang
lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
37. Faqdud
dalil ba’dal fihshi
yaitu menetapkan tidak ada
hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum
sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
Next
0 komentar:
Posting Komentar
Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com