Ahlus Sunnah Wal Jamaah
8
X.
Maqashid Syari’ah (Tujuan Syara’)
Melalui penelitian
yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung
maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan
larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah
diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu
memahaminya.
Tuhan tidak
mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’
bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum.
Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui
apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash syariat itu.
Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada
makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna.
Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami
maksud syara’ (maqashid syari’ah).
Segala hukum muamalah,
akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum yaitu
berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat
terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah
dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
“Dasar syariat
ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil,
semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar
dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’, dari maslahat kepada
masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu
adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara
makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan
kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya”.
Maksud-maksud
syara’ yang umum :
1. Memelihara segala
yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka,
yaitu :
a. Memelihara Agama
(dien).
b. Memelihara Nyawa
(nafs).
c. Memelihara Akal
(aqlu).
d. Memelihara
Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta
(mal).
Apabila yang dharuri
ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah
kekacauan dan kerusakan yang merata.
2.
Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu segala yang
diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung
kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi
bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak
merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.
Segala yang dihajati
dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa
kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan
hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera
tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat
dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan
Maksud Syara’
1.
Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang
harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok
ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama.
Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak agama
dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan agama dan
hilanglah pemeliharaannya.
Apabila tidak
dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan
apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak
difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat tertentu untuk
memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila tidak
disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan
penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita
rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan
tentu rusak maslahat harta.
2.
Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita
hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk
memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar
atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.
3.
Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang
paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat
asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup.
Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara akhlak-akhlak
tinggi dan adat-adat yang baik.
XI.
Masalah Ushul (pokok) – Furu’ (cabang)
A.
Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok)
adalah masalah yang menyangkut I’tikad (keyakinan) dalam urusan :
akidah, tauhid dan rukun iman
yang enam. Dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits yang
menerangkan hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan
penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qath’i
(pasti).
Seorang muslim dalam
masalah ushul ini harus benar I’tikadnya (keyakinannya). Salah dalam
I’tikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar
dari Islam. Jadi
dalam masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.
Contoh-contoh masalah
ushul :
a.
Tidak ada tuhan selain Allah.
b.
Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
c.
Allah satu satunya tempat bergantung.
d.
Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
e.
Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan
diibadahi)
f.
Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur,
memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
g.
Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Qur’an.
h.
Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i.
Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j.
Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot,
surga-neraka)
k.
Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
l.
Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu
Kalam point terakhir)
Masalah ushul yaitu
akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon,
I’tikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang
yang merupakan penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam
masalah ushul ini.
Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini
maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya
para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bid’ah akidah seperti
kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah,
Musyabbihah, Mu’atillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok sempalan
dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa
oleh hadits Nabi :
“Umatku akan
terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang
selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para
sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab
: ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi,
‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu
yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan
para sahabatku’ “
B.
Masalah Furu’ (cabang)
Masalah Furu’ (cabang)
adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara
ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah
furu’ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas
kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furu’iyah ini tidak semua
dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal,
masih ‘am (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak
(mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan cakupan
lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi
penafsiran dan sebagainya.
maka dalam masalah
furu’iyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya.
Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan
muijtahid. Jadi dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini hendaknya setiap
muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap
paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang
lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain
yang tidak sependapat.
Dalam masalah
furu’ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar
dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.
Contoh-contoh masalah
Furu’
a.
Detail tata cara sholat
b.
Fiqih Zakat
c.
Fiqih Puasa
d.
Fiqih Haji
e.
Fiqih Jual-Beli
f.
Fiqih Sewa-Menyewa
g.
Fiqih muamalah
h.
Urusan duniawiyah
i.
Dan lain-lain.
Masalah furu’ itu
ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak
harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak
ragam cabang. Jadi dalam masalah furu’
boleh ada ijtihad, boleh ada
variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.
XII.
Dalil Qath’i (pasti) – Dzani (dugaan)
A.
Dalil Qath’i (pasti)
Dalil disebut Qath’i
(pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1.
Qath’i wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qur’an dan Hadits
Mutawatir
2.
Qath’i dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak
ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari
Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qath’i
diatas maka menjadi dalil
Qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa
reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik,
tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah
Ushul dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’
dalilnya tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya
qoth’i sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan
pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
a.
Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr
(arak) dan riba.
b.
Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100
kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
c.
Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
d.
Hukum potong tangan bagi pencuri.
e.
Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
f.
Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan
tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak,
dsb)
B.
Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah
dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qath’i, yaitu :
1.
Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai
derajad mutawatir.
2.
Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada
kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan
cakupan lafazhnya.
Kebanyakan masalah
furu’ yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad,
atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum
sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.
XIII.
Tentang Bid’ah
Pembahasan tentang
bid’ah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat
dan pemahaman tentang masalah bid’ah ini yang sekarang ini menjadi salah
satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai
kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada
yang menjadikan kata
bid’ah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan
menjadikan kata mubtadi
(pelaku bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok
lain.
A. Pengertian Bid’ah
Secara Bahasa
Secara bahasa bid’ah
itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan
memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang
baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.
B. Pengertian Bid’ah
Secara Istilah.
Secara istilah, bid’ah
itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan
batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang
berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga
mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya
menyempitkan batasannya.
Sultonu Ulama, Imam
Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafi’i
(wafat 660 H) dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan bahwa bid’ah
adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah
SAW.
Dalam Ensiklopedi
Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait
halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang
dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang
tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu
sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa
semua bid’ah adalah sesat.
Kelompok
Pertama
Kelompok yang
menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai
bid’ah meski hukumnya tidak
selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang
baik.
a. Tokoh-tokohnya
Di antara para ulama
yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan
pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu
Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan
Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti
Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu
Hazm dari kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada
jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah
berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah
Umar bin Al-Khattab beliau membuat “perkara baru” yaitu menghimpun
orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu
itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata :
“ini adalah sebaik-baik
bid’ah“.
Perbuatan itu tidak
ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar
masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu Umar juga
menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis
bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
Hadits yang
mengindikasikan adanya bid’ah yang baik adalah hadits berikut :
“Siapa yang
mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran
orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan
sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran
orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”.
Dalam Kitab Fathul
Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan :
1. Ada riwayat dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah
berkata :
“Bid’ah itu dua
macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji
adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela adalah
yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”.
2. Imam Baihaqi dalam
kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata
:
“Perkara baru
(bid’ah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau
berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini dinamakan
“bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang tidak
menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bid’ah juga,
tetapi tidak tercela.”
3. Tentang bid’ah,
sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah.
(maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bid’ah kepada
hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram).
Bisa kita nukil
pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru
yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum,
yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah
makruh dan bid’ah mubah.
c. Contoh-contohnya :
Bid’ah yang wajib :
-
Membukukan mushaf Al-Qur’an.
-
Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan
hadits, karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qur’an).
-
Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah
berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu
Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf,
ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
-
Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum
Muslimin.
Bid’ah yang haram :
-
Bid’ah
dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
a.
Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap
Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah
orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
b.
Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar,
Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah,
Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
c.
Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati.
Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
d.
Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar
usaha bebas manusia.
e.
Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan
manusia.
f.
Mua’tillah yang menolak sifat-sifat Allah.
g.
Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.
-
Bid’ah
dalam ibadah, seperti :
a.
Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b.
Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c.
Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d.
Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib
dizakati.
e.
Melakukan haji tidak ke Mekkah.
-
Bid’ah
yang Sunnah :
a.
Shalat Tarawih berjama’ah.
b.
Adzan pertama pada shalat Jum’at.
c.
Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d.
Mendirikan sekolah/madrasah/majelis ta’lim.
-
Bid’ah
yang Makruh :
a.
Menghias masjid.
b.
Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c.
Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d.
Sistem pemerintahan yang monarki.
e.
Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi
semata-mata.
-
Bid’ah
yang Mubah :
a.
Makan menggunakan sendok.
b.
Memakai pakaian yang bagus.
c.
Membuat rumah yang besar.
d.
Menggunakan peralatan modern.
e.
Dzikir berjama’ah.
f.
Bersalam-salaman setelah shalat berjama’ah.
Kelompok Kedua
Kelompok ini
menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah
sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits “Semua
perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”
Kelompok ini
menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah
dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi
sebagai “sarana”. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana
menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi
wajib.
a. Tokoh
Di antara mereka yang
berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam
Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi
serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan
Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b. Dalil
Dalil yang mereka
gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah
menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
(QS Al-Maidah: 3)
Hadits Nabi :
“Bahwa semua
perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat”.
“Barang siapa yang
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka
amalan tersebut akan tertolak.”
(HR Muslim 1817)
c. Contoh :
-
Maulud
Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-
Dzikir
berjama’ah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-
Pemilu
tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-
Tahlilan
tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Tahqiq :
1.
Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah
bid’ah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi
tidak termasuk bid’ah dhalalah.
2.
Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan
adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :
a.
Shalat Jum’ah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah
dhalalah atau tidak.
b.
Shalat Sunah berjama’ah itu bid’ah dhalalah atau tidak.
c.
Dzikir berjama’h itu bid’ah dhalalah atau tidak.
d.
Peringatan maulid Nabi itu bid’ah dhalalah atau tidak.
e.
Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal
itu bid’ah atau tidak.
3.
Hadits nabi “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat
(dhalalah).” Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua
perkara baru itu adalah bid’ah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits
diatas memang bersifat umum (‘am), lafazh ‘am masih memungkinkan
menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya
yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia
mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari
qiyamat.
Jadi tidak “semua”
perkara baru bid’ah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4.
Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan
perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a.
Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang
tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
b.
Khalifah Usman menyatukan Al-Qur’an dalam satu rasm dan
menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c.
Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat
Jum’at, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu
shalat Jum’at sudah dekat.
d.
Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h
dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e.
Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf,
padahal mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat
dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati
orang-orang yang baru masuk Islam.
f.
Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan
dan paceklik.
g.
Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus,
jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan
sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal
jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap
jatuh talak satu.
h.
Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para
prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal
Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i.
Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid
sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
j.
Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada
hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur
dengan Al-Qur’an).
Semua atsar diatas
menunjukkan bahwa tidak semua
perkara baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu
faktor maslahat dan manfaatnya,
illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5.
Jadi jangan gampang memvonis bid’ah dhalalah terhadap semua
perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang
tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6.
Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur
agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya
tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan
kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa
manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bid’ah
dhalalah.
XIV.
Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam masalah ushul,
atau masalah furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak boleh ada
perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh
ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat
dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya,
itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang
pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah akidah,
yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah,
Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.
Dalam masalah furu’
yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan
perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau
fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan
pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber
toleransi.
Perbedaan pendapat
dalam masalah furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi
sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh.
Para generasi
salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah dan
saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan,
tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi
(pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah “menghukumi
haram” terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil
qath’i yang tegas menunjukkan hukum haramnya.
Berikut ini
riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah
ikhtilaf :
Khalifah Harun Al
Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al
Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan
Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin,
karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke
berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa.
Jadi manhaj
salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan
tidak memaksakan pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka
membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah
engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak
berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
“Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said
Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari
hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu.
Jadi manhaj
salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan
tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman bin Mahdy
meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang
seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang
menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa
membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam
Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan
kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”.
Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas
memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di
kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang
kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik
bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat
hati-hati, tidak
gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qath’i yang tegas
mengharamkannya.
Imam Al Auza’i (mufti
dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang
yang mencium istrinya : “Kalau orang itu datang padaku bertanya
bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi,
tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya”.
Imam Ahmad bin Hanbal
berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami tidak melakukannya
tetapi kami tidak mencela yang melakukannya”.
Suatu hari, ada
perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Mu’in
tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau
tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya
bin Mu’in : “Orang itu harus wudhlu lagi”. Dia menggunakan hadits yang
diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin
Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari
Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu
Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar
bin Yasir.
Menanggapi kejadian
itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah, derajad Ammar
dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.”
Ibnu Qudamah dalam
kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin
Hanbal : “Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang
orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum
fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i
hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat,
para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada
yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu.
Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijma’).
Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau
salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh
imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad :
shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam mazhab Imam Abu
Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal
karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu
Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian
langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat
Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal
wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah
Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam Syafi’i dalam
qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya
najis, suatu hari Imam Syafi’i shalat setelah bercukur rambut, sementara
dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang
melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam Syafi’I menjawab : “Saat
dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu
Hanifah)”.
Ibnu Taimiyah dalam
Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang berpendapat menjaharkan
(membaca nyaring) “Bismillahirrahmanirrahim” dalam shalat, tetap
bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan
“Bismillahirrahmanirrahim”
Diriwayatkan dari Abu
Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin
Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam
Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah
perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, “Kalaui dia
melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.
Lalu Al Hushain
meminta jalan keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan
kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak
perceraian) ?”. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Kamu tahu pengajian
para ulama Madinah ?” Al Hushain menjawab, “Ya” Saat itu memang ada
beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung
Baghdad. “Apakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya
tetap halal ?” maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya !”.
Baihaqi dalam Sunan Al
Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu kami bersama
Abdullah bin Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina,
beliau bertanya : “Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa
raka’at ?” Mereka menjawab, “Empat raka’at”. Maka Ibnu Mas’ud langsung
shalat empat raka’at tanpa membantah.
Mereka langsung
mempertanyakan, “Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah
dan Abu Bakar melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud menjawab :
“Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi
Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda
dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah
buruk”.
Diriwayatkan pula
bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam
Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang
mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut
pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati
pendapat Imam Abu Hanifah”.
Dari Ibnu Abdil Barr
berkata dalam At Tahmid : “Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu
umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : “Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin
Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan
sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum
dalam Al Muwatta’; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik
yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanya”.
Penulis berkata :
“Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti
anda ?” Beliau menjawab : “Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits
yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita
sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan
hadits itu. Dan tindakan yang
berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan
termasuk tradisi imam-imam kita”.
Ibnu Taimiyah dalam
Majmu Fatwa nya mengatakan, “Apabila seorang makmum berjama’ah dengan
imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya
dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum
ruku’ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut,
makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang
bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para
makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat,
tentu tindakan ini dianggap lebih baik”.
Ibnu Taimiyah kemudian
mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya karena
kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang
untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan membuat bangunan baru
yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain
untuk keluar”.
Terlihat disini, bahwa
keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau
hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian lain dalam
buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu, para imam,
Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam
shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal
itu bisa menarik simpati orang orang yang beriman”.
Ibnu Muflih dalam
kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata : “Tidak boleh
keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau
perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan
bangunan Ka’bah begitu saja, seraya bersabda : “Kalau bukan karena
kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman
bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :
1.
Persatuan adalah wajib.
“Aku wasiatkan
kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi
berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabi’it tabi’in).
Kalian harus tetap dalam jama’ah. Waspadalah terhadap perpecahan, karena
sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan dia (syetan) akan
lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan bau harum surga
hendaknya selalu dalam jama’ah.”
(HR Turmudzi, Hakim,
shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2.
Menjauhi dan menghindari perpecahan.
“Berpeganglah kamu
sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah”. (QS Ali Imran :
103).
“…dan
janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang
kekuatan kamu”.
(QS Al Anfal : 46).
3.
Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) adalah suatu
kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi
umat.
Hadits Nabi :
“Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat”.
Atsar riwayat Baihaqi,
menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :
“Saya tidak senang
bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka
tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada ruksyah
(keringanan) bagi kita”.
4.
Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu’
yang ijtihadi.
5.
Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada
masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qath’i
(pasti) dan sharih (jelas).
6.
Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
7.
Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam
masalah-masalah yang ijtihadi.
8.
Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
“Jauhkanlah diri
kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu
hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama”.
(HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)
9.
Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para
ulama.
10.
Menahan diri dari “menyerang” kelompok yang berbeda pendapat
dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq,
mubtadi (pelaku bid’ah) atau
mengkafirkan.
11.
Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat
daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :
a.
Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang
non muslim.
b.
Kemiskinan dan kebodohan umat.
c.
Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
d.
Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah
materialistis, sekuleristis, hedonis.
e.
Degradasi moral dan spiritual.
f.
Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12.
Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a.
Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b.
Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat
mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke
lima.
c.
Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh
pada ulama masa sekarang.
d.
Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum
yang bebas dari kesalahan.
e.
Berperasangka baik kepada orang lain.
f.
Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13.
Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
14.
Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
15.
Menjauhi perdebatan sengit.
XV.
Fikih Kotemporer
DR. Yusuf Qaradhawi,
seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qur’an), dikenal
moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat
gelar “The Man of The Year” dari pemerintah Uni Emirat Arab
dalam bukunya “Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju
Kematangan” menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan
perlu diketahui untuk menambah kematangan kita dalam memahami khazanah
dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu
point-point menuju kematangan
kebangkitan Islam yaitu :
1.
Dari formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat :
shalat, puasa, zakat haji, ‘hafal’ ayat dan teks hadits, hafal
teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu semua adalah
aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah mengamalkan
aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong
sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2.
Dari Simbol menuju substansi.
Memanjangkan jenggot,
memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana
diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang
penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya yaitu :
tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat
dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan,
berperasaan dalam etika, dsb.
3.
Dari pembicaraan menuju amal
Ceramah, wejangan,
obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh
lebih penting.
4.
Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi, seminar, adu
argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan
pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba dalam
kebaikan amal (fastabiqul khoirot) :
mengamalkan ilmu
yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni
fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian
ilmiah, itu semua jauh lebih penting.
5.
Dari sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan aspek
bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen,
maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah.
6.
Dari emosional menuju rasional
Memusuhi kelompok yang
berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah sikap emosional,
maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan
7.
Dari ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim
berlebihan :
a.
Tidak mengakui pendapat lain.
b.
Memaksakan pendapat.
c.
Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu’ yang ijtihadi).
d.
Kasar, menyakiti.
e.
Buruk sangka.
f.
Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
g.
Liberalis.
h.
Literalis.
i.
Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri sikap
moderat adalah pertengahan :
a.
Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang
terbaik).
b.
Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
c.
Antara rasionalis dan literalis.
d.
Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat
dalam politik.
e.
Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang
terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.
f.
Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok
realis yang tidak percaya akan ide – ide.
8.
Dari menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak mau mengambil
ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bid’ah dhalalah yaitu
berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi
adalah bid’ah dhalalah, sehingga
seolah-olah hidup sekarang ini
adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah
pandangan yang menyulitkan.
Padahal Allah
berfirman :
“Dia
(Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimu”.
(QS Al Baqarah : 185).
“Dia
tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian”.
(QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
“Agama yang
disukai Allah adalah agama yang mudah”. (HR Bukhari, Ahmad,
Thabrani)
“Sesungguhnya
Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia
suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya”.
(HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)
9.
Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya memegangi makna
literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan
maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman
dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud
(beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan umat
yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10.
Dari taklid menuju ittiba’.
Sikap
taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
argumen-argumennya, sedangkan ittiba’ adalah mengetahui argumen-argumen
para imam dan memilih mana yang paling baik.
11.
Dari fanatisme menuju toleransi.
Ciri
sikap fanatik :
a.
Menganggap dirinya paling benar.
b.
Menganggap semua yang lain pasti salah.
c.
Keras pada masalah furu’ yang ijtihadi
d.
Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga
solidaritas.
e.
Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri sikap toleran :
a. Tidak merasa yang
paling benar.
b. Mau menerima
kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap
keras pada masalah furu’ yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan
perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
e. Mau menerima
pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.
12.
Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.
13.
Dari keberingasan menuju kasih sayang.
14.
Dari perpecahan menuju persatuan.
15.
Dari perselisihan menuju solidaritas
Next
0 komentar:
Posting Komentar
Korwil PDI Perjuangan dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk menyajikan buah pikirannya dalam web ini. Silakan kirim sajian anda ke: korwilpdipksa@gmail.com