Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ilmu Fiqih
I. Pengertian Ilmu Fiqih
Firman Allah dalam QS
At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak
lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber
“tafaqquh” (memahami
fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila
mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas
perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi :
“Barangsiapa
dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan,
niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an”
(memahami fiqih) dalam urusan agama.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan
dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh
atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan)
hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul
Fiqih”.
II.
Perkembangan Ilmu Fiqih
A.
Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW
adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir
dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh
umatnya.
Dalam masa Nabi wahyu
Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun
kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi
pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam urusan duniawi,
peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi
juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima
usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan
pendapatnya sendiri.
Pada peristiwa perang
Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di
suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang
sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi
didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan
dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa penduduk
Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah
yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk
sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah
tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan
buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma,
seraya bersabda
“Kamu lebih
mengetahui urusan duniamu”.
Pada waktu perang
Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian
Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? “
Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata :
“Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat
berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami
mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.
Jadi dalam hal-hal
yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi
tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.
Para sahabat Nabi
terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka tindakan
mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi
memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad
para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan
pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan
menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya
adalah sebagai berikut :
- Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada
dirimu.”
(QS An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu
Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu
merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
- Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.
Maka tatkala keduanya
melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad
itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan
tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga
bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.
- Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi pada masa Nabi
semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang
seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada
ditengah-tengah para sahabat.
B.
Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar
ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka
beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa
ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang
menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya
berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah
Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan
dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun
mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah
pertama yaitu Abu Bakar dan Umar,
para sahabat Nabi semuanya
masih berada di
Kota
Madinah, maka
kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini
menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh
seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah
Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota
Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah
ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami,
para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama
dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Pada masa Khalifah Ali
bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari
Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang
pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal,
perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama
berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin
dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
“Ikutilah jejak
dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.”
(HR Tirmidzi,
Thabarani, Hakim)
“Maka bahwasanya
siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan
(faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah
Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.”
(HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang
Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal
sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi)
yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi
adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada
beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS
At-Taubah : 100 :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah
kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian
umatku.”
Para Sahabat
itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka
mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul),
mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti
jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya
kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan
rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli
Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal
banyak memberi fatwa adalah :
- Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
- Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
- Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
- Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
- Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Aisyah, Ummul Mukminin
- Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
- Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10.
Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
11.
Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik Ijtihad
masa Sahabat :
1.
Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah
(penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2.
Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3.
Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari Masruq
yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin
Ka’ab menjawab :
“Apakah hal itu
telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita
tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah
terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.
4.
Toleran
Ath-Thabari
meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang
laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa
yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian, oleh
Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi
demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan
urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu
kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku
mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak
(lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar
menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali
dan Zaid”.
5.
Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin
Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
C.
Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah
murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka
melakukan dua peranan penting, yaitu :
1.
Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2.
Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat
dari sahabat.
Para tabi’in di
tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan
methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di
Madinah
- Said bin Al Musayyab
- Urwah bin Zubair
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit
- Abu Bakar bin Abdurrahman
- Sulaiman bin Yasar
- Ubaidillah bin Abdullah
Mufti dan Fuqaha di
Mekkah :
- Atha’ bin Abi Rabah
- Thawus bin Kisan
- Mujahid bin Jabar
- Ubaid bin Umar
- Amru bin Dinar
- Ikrimah maula Ibnu Abbas
Mufti dan Fuqaha di
Basrah :
- Amru bin Salamah
- Abu Maryam al-Hanafy
- Ka’ab bin Sud
- Hasan Al Basri
- Muhammad bin Sirin
- Muslim bin Yasar
Mufti dan Fuqaha di
Kufah :
- Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
- Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
- Syuraih al Qadhy
- Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
- Rabi’ bin Khutsam.
Mufti dan Fuqaha di
Mesir :
- Yazid bin Abi Habib
- Bakir bin Abdillah
- Amru bin Al-Harits
Mufti dan Fuqaha di
Yaman :
- Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
- Abdul Raziq bin Hamman
- Hisyam bin Yusuf
- Muhammad bin Tsur
- Samak bin Al-Fadhl
Mufti dan Fuqaha di
Baghdad :
- Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
- Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di
Andalusia :
- Yahya bin Yahya
- Abdul Malik bin Habib
- Baqi bin Makhlad
- Qasim bin Muhammad
- Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha Tujuh (Fuqaha
al-sab’ah)
Mereka adalah para
tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
- Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
- ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
- Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
- ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
- Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
D.
Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di
Mekkah :
Di mekkah terdapat
Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin
Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Mufti dan Fuqaha di
Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri,
Abdurrahman bin Hurmuz, Malik
bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di
Basrah :
Abdul Wahab bin Majid
Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin
Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di
Kufah :
Ibnu Abi Layla,
Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al
Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly,
Abu Hanifah
Mufti dan Fuqaha di
Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin
Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di
Syam
Yahya bin Hamzah Al
Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu
Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di
Mesir :
Abdullah bin Wahbin,
Al Muzny, Ibnu Abdul hakam,
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.





